Posts Tagged ‘Nabil award’

Membangun Bangsa: Mewujudkan Kemanusiaan yang Adil Gender dan Beradab

Prof. (Em.) Dr. Saparinah Sadli

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Hadirin yang terhormat,

Selamat malam.

Pertama-tama saya ingin menyampaikan terimakasih atas kesediaan saudara-saudara yang telah meluangkan waktu untuk hadir pada malam pemberian Nabil Award tahun ke-5, yang pilihannya jatuh kepada saya. Yayasan Nabil adalah organsasi yang mempunyai visi dan misi membangun bangsa (nation building). Justru terkait dengan visi dan misi Yayasan Nabil inilah maka saya tertegun dan ragu ketika Ketua Yayasan Nabil, Drs. Eddie Lembong dalam suatu acara makan siang bersama beberapa staf dan anggota Dewan Pakar Nabil menyampaikan bahwa Nabil Award tahun 2011 akan diberikan kepada saya.

Ketika dijelaskan alasan mengapa saya dipilih sebagai penerima Nabil Award, keraguan saya semakin bertambah. Karena saya menyimpulkan bahwa Yayasan Nabil secara langsung maupun tidak langsung mengkaitkannya dengan kegiatan saya saat terjadi kerusuhan Mei 1998. Saat itu diketahui bersama telah terjadi perkosaan massal terhadap sejumlah perempuan warga Indonesia keturunan etnik Tionghoa. Suatu peristiwa yang meskipun benar terjadi, tetapi oleh Pemerintah Indonesia hingga sekarang masih dikategorisasikan sebagai “dugaan”. Peristiwa kekerasan seksual ini menyebabkan kekerasan berbasis gender -yang telah ada sejak awal peradaban manusia- untuk pertama kalinya diangkat sebagai isu publik di Indonesia, suatu isu gender yang sampai sekarang tidak terselesaikan.

Pak Eddie Lembong dan stafnya dengan sabar mendengarkan alasan saya. Teman-teman dari Yayasan Nabil yang saat itu ikut diundang makan siang dan mengenal kegiatan saya, mencoba ikut menjelaskan lebih lanjut mengapa saya merasa ragu. Hasil akhir pertemuan tersebut adalah Pak Eddie kemudian meminta saya untuk mempertimbangkannya.

Saya memang sangat ragu dipilih sebagai penerima Nabil Award tahun 2011 karena beranggapan penilaian yang dipakai sebagai dasar pemberian Nabil Award kepada saya, tidak hanya menyangkut saya pribadi tetapi merupakan kerja sejumlah aktivis. Apa yang dinilai sebagai kegiatan saya sebenarnya merupakan aktivitas sejumlah perempuan yang sebagai warga masyarakat menunjukkan kepeduliannya terhadap terjadinya pelanggaran hak asasi manusia dalam kerusuhan Mei 1998, termasuk pelanggaran hak asasi perempuan. Mereka terdiri dari perempuan berbagai generasi, yang sebagai respons terhadap Tragedi Mei 1998 lalu membentuk Masyarakat Anti Kekerasan. Suatu wadah yang digagas oleh sejumlah dosen perempuan dari Program Studi Kajian Wanita Universitas Indonesia, tetapi kemudian diperluas dengan mengajak perempuan pimpinan organisasi agama dan pimpinan organisasi sosial seperti KOWANI dan Dharma Wanita. Masyarakat Anti Kekerasan mengajak saya ikut terlibat di dalamnya, karena saya saat itu menjabat sebagai Ketua Program Studi Kajian Wanita UI dan masih menjadi anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

Sebagai tindak lanjut dari keputusan Ketua Pendiri Yayasan Nabil, maka saudara Didi, staf Yayasan Nabil, berinisiatif menghubungi sejumlah teman dengan siapa saya dulu bekerja. Hasilnya adalah bahwa saya sore ini berdiri di sini sebagai penerima Nabil Award 2011 untuk menyampaikan pidato penerimaan saya.

Menyambung pada alasan mengapa Nabil Award diterimakan kepada saya, saya sampai saat ini tetap menganggap bahwa saya berdiri di sini mewakili teman-teman yang peduli pada pembangunan bangsa dan telah melibatkan saya dalam memperjuangkan kehidupan berbangsa yang dapat memberikan rasa aman dan adil bagi semua. Karenanya, sebelum saya meneruskan pidato penerimaan, saya ingin menekankan bahwa Nabil Award 2011 ini adalah bagi mereka semua.

Untuk ini semua terlebih dahulu saya ingin memanjatkan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa bahwa apa yang pernah saya kerjakan, dianggap berguna dalam kehidupan bersama. Apalagi mengingat bahwa kerja perempuan biasanya dianggap biasa, sehingga jarang mendapat perhatian khusus. Memang dalam hal ini, Yayasan Nabil menurut pengamatan saya berbeda. Ini karena dari sembilan penerima penganugerahan Yayasan Nabil, lima penerimanya adalah perempuan. Sesuatu yang masih langka! Kecuali kalau yang memberi penghargaan adalah organisasi perempuan juga. Mereka adalah Ibu Claudine Salmon (2007), Ibu Mary Somers Heidhues (2008), Ibu Myra Sidharta (2009), Ibu Mely G. Tan (2009) dan Ibu Mona Lohanda (2010). Hasilnya adalah bahwa saya sore ini berdiri disini sebagai penerima Nabil Award 2011 untuk menyampaikan pidato penerimaan saya.

Hadirin yang terhormat,

Di tengah-tengah proses perubahan masyarakat yang membuka peluang lebar bagi perempuan dan laki-laki untuk menyumbang tenaga dan pikirannya pada pembangunan bangsa, bisa diamati bersama bahwa sekarang cukup banyak perempuan dapat memilih berkiprah di ruang publik. Tidak hanya karena terpaksa atau untuk menopang ekonomi keluarganya, tetapi juga untuk dapat mengaktualisasi potensi dirinya secara optimal. Kenyataannya adalah bahwa tidak sedikit perempuan sekarang dapat membuktikan bisa berprestasi di ruang publik dan tidak kalah dibandingkan dengan laki-laki. Malah kadang-kadang melebihi laki-laki. Suatu kenyataan yang mendukung hasil penelitian Psikologi Perempuan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara potensi inteligensi umum perempuan dan laki-laki.

Kita sudah 66 tahun merdeka dan selama itu pula telah berupaya membangun jati diri sebagai bangsa yang sesuai landasan dan filsafat negara. Yaitu menjadi bangsa yang menghormati keberagaman nilai-nilai budaya dan agama, mengupayakan kesejahteraan untuk semua, dan belajar menghormati perbedaan antar manusia. Apa yang diperjuangkan oleh perempuan generasi pertama dalam bentuk dan dengan strategi yang berbeda, pada intinya tidak berbeda dengan apa yang sekarang lebih disebut sebagai memperjuangkan tercapainya kesetaraan gender.

Meskipun demikian tidak bisa diingkari bahwa yang masih harus dihadapi cukup banyak perempuan dari berbagai latar belakang pendidikan, sosial ekonomi, etnisitas dan agama yang beragam adalah terjadinya berbagai bentuk diskriminasi karena ia berjenis kelamin perempuan. Salah satu kondisi yang telah menyebabkan rasa tidak aman bagi cukup banyak perempuan di tengah-tengah kemajuan yang dinikmatinya.

Ditinjau dari perspektif gender, diskriminasi terhadap perempuan merupakansuatu contoh konkret bahwa aspirasi bangsa untuk membangun Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia (Sila ke-5) dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab (Sila ke-2) meskipun sudah diberi landasan legalnya, namun rasa keadilan belum bisa dinikmati seluruh warga bangsa. Dalam kosa kata hak asasi manusia, belum seluruh rakyat dapat menikmati kehidupan bersama yang menghormati setiap manusia dengan tidak membedakan gender, ras, kelas, etnisitas dan status sosial ekonomi. Sehubungan dengan kenyataan itulah dan menyambung pada apa yang ditelaah dan secara konsisten juga disumbangkan perempuan Indonesia sebelum kemerdekaan sampai pada era reformasi, ialah menghapus diskriminasi terhadap perempuan, maka saya memilih sebagai topik bahasan adalah ”Membangun Bangsa: Membangun Kemanusiaan yang Adil GENDER dan Beradab”. Dalam hal ini saya ingin menyatakan bahwa jika kita bicara tentang bangsa dan kemanusiaan, maka secara implisit hal tersebut mencakup perempuan dan laki-laki yang memiliki hak dan kesetaraan sebagai warganegara. Topik bahasan yang ingin saya sampaikan bertujuan untuk mengeksplisitkan pengertian tersebut.

Sehubungan masih ada aversi (keengganan) terhadap istilah gender, maka saya akan menyisipkan secara singkat apa itu gender sebelum menyinggung relevansi dan kepentingannya dalam kehidupan sebagai bangsa. Ini karena dalam pengamatan dan pengalaman sehari-hari istilah gender masih kurang diterima, baik di kalangan akademisi maupun anggota masyarakat pada umumnya. Adanya misinterpretasi bahwa gender adalah perempuan, telah menimbulkan salah paham yang cukup meluas dan masih menggejala, sehingga merugikan perempuan dan laki-laki.

Gender: Misinterpretasi yang Menimbulkan Diskriminasi dan Kekerasan

Pertama-tama saya ingin menegaskan bahwa gender tidak identik dengan perempuan. Gender adalah hasil sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai yang berlaku sejak seseorang dilahirkan sebagai perempuan atau laki-laki.

Dari sudut pandang psikologi, gender terkait pada identitas diri dan sikap sosial setiap orang, apakah ia laki-laki atau perempuan. Karena setiap orang yang dilahirkan sebagai mahluk biologis selalu dilahirkan dalam suatu jaringan nilai-nilai budaya tertentu, maka ia segera belajar dan diajarkan untuk bisa berkembang menjadi manusia yang beradab. Yaitu menjadi seorang yang mengenali, menghormati dan dapat menyesuaikan diri pada nilai dan norma sosial yang berlaku. Caranya, dengan belajar menginternalisasi berbagai nilai budaya yang berlaku di lingkungannya. Gender karenanya, disebut sebagai hasil konstruksi sosial.

Kalau dalam perspektif arus utama atau konvensional, kekerasan dalam rumah atau kekerasan seksual yang dialami perempuann lebih dinilai sebagai kesalahan perempuan (victim blaming) atau anggapan bahwa hanya laki-laki yang bermasalah (patologis) yang melakukan kekerasan terhadap perempuan, maka dari perspektif gender kekerasan terhadap perempuan dinyatakan sebagai berakar pada ketimpangan kekuasaan dalam relasi antar gender. Inilah salah satu alasan mengapa dalam perjuangannya, kelompok perempuan mempromosikan perlunya peningkatan penghormatan pada hak asasi perempuan sebagai hak asasi manusia, tanpa membedakan etnisitas, kelas, agama dan gender.

Gender dengan demikian bukan sesuatu yang ditetapkan oleh Tuhan (nature), bukan bawaan sejak lahir, tetapi merupakan buatan manusia (nurture). Tujuannya: agar setiap manusia, ia perempuan atau laki-laki, dapat mengembangkan identitas dirinya dan identitas sosialnya sekaligus. Karena identitas sosial perempuan dan laki-laki adalah hasil internalisasi nilai-nilai budaya yang berlaku, maka gender bisa berbeda antar budaya, antar jenis kelamin dan bisa berubah antar waktu. Bahwa gender bisa juga berbeda dalam jenis kelamin yang sama adalah karena manusia bukan robot, tetapi mahluk Tuhan yang diberikan potensi nalar, emosi dan kemampuan memilih. Ini pula menyebabkan bahwa kelompok laki-laki atau kelompok perempuan bukan entitas yang homogen.

Gender jelas juga bukan konsep atau paham impor atau asing, sebagaimana sering dituduhkan oleh mereka yang mempunyai aversi pada istilahnya, tetapi melekat pada diri kita masing-masing sebagai manusia yang beradab. Bahwa hingga sekarang kelompok manusia yang berjenis kelamin perempuan masih mengalami berbagai bentuk diskriminasi atau ketidak-adilan gender, berarti bahwa menghormati keberadaan, aspirasi serta pengalaman perempuan dan laki-laki sebagai setara masih belum menjadi realitas dalam kehidupan berbangsa. Masih ada sikap ambivalen terhdap perempuan dengan berbagai potensinya. Menolak gender sebagai konsep atau sekedar istilah, bisa saja dilakukan. Namun yang tidak bisa diingkari adalah gender sebagai identitas diri dan identitas sosial seseorang adalah milik setiap orang, laki-laki dan perempuan. Adalah realitas kehidupan yang tidak bisa dipisahkan dari nilai yang berlaku dalam suatu budaya bahwa anak perempuan belum bisa mengakses lebih banyak kesempatan yang tersedia dibandingkan anak laki-laki. Contoh konkretnya adalah dalam bidang pendidikan.

Meskipun “Wajib Belajar 9 Tahun” merupakan kebijakan negara yang memberi kesempatan belajar bagi semua anak, namun tetap saja hingga hari ini lebih banyak anak perempuan dibandingkan anak laki-laki dalam keluarga miskin, yang belum bisa menikmati kesempatan tersebut. Diantara alasannya: karena nilai yang dianut keluarga dengan tradisi yang berlaku yang lebih mementingkan anak lelaki yang diposisikan sebagai calon kepala keluarga yang kelak harus mencari nafkah. Faktor lain adalah terus menggejalanya tradisi kawin dini bagi anak perempuan, juga di kalangan keluarga miskin. Alasannya: untuk meringankan beban keluarga. Semuanya masih diperkuat oleh nilai-nilai budaya yang menempatkan perempuan sebagai pengasuh utama anak-anak. Hal ini berarti mengutamakan laki-laki dalam kehidupan bersama kita, bukan fiksi tetapi fakta yang menempatkan perempuan sebagai warganegara kelas dua. Sedang terpinggirkannya anak perempuan dari kesempatan pendidikan, berkontribusi pada langgengnya kemiskinan keluarga.

Diskriminasi berbasis gender ini tidak hanya dialami anak perempuan keluarga miskin. Contohnya ketika untuk jabatan politik seperti menjadi menteri diumumkan bahwa akan dipilih empat menteri perempuan, maka ada kriteria tambahan ‘harus berkualitas’. Mengapa hanya empat dan mengapa ada tambahan kriteria ‘harus berkualitas’ bagi calon menteri perempuan? Sikap ini jelas bertolak-belakang dengan temuan Psikologi Perempuan bahwa inteligensi umum perempuan dan laki-laki tidak berbeda secara signifikan. Tetapi saat hal itu dilansir melalui media, banyak yang menganggapnya ‘lumrah’ atau biasa.

Bagi saya sebagai psikolog, pemikiran dan sikap tersebut menyambung pada pernyataan Bapak Psiko Analisis Sigmund Freud, ialah bahwa ‘anatomy is destiny’ yang kemudian menyebabkan dihasilkannya konsep bahwa ‘perempuan bukan manusia yang sempurna’. Ukuran kesempurnaan yang ia gunakan adalah perbedaan anatomi perempuan dan laki-laki. Meskipun Freud menyatakannya dalam abad ke-19, nyatanya dalam abad ke-21 pemikiran yang sama masih menggejala dan menciptakan berbagai isu gender. Seperti: kalau perempuan ia harus berkualitas, suatu kriteria yang tidak berlaku bagi laki-laki. Apakah karena laki-laki itu sempurna? Berbagai isu gender, seperti diskriminasi terhadap perempuan, berakar pada relasi antar gender yang timpang. Atau disebabkan karena penilaian, sikap dan perilaku yang menempatkan laki-laki sebagai manusia yang ‘sempurna’ atau ‘berkualitas’ sedangkan perempuan ‘kurang berkualitas’ atau ‘kurang sempurna‘.

Sekarang peran sosial perempuan atau peran gender perempuan telah menjadi lebih bervariasi. Suatu bukti bagaimana perubahan nilai dalam masyarakat sejak era reformasi berpengaruh pada perubahan perilaku perempuan, tetapi belum secara nyata mengubah sikap semua perempuan dan laki-laki. Contohnya kalau dalam politik Orde Baru perempuan ditetapkan secara ketat sebagai ‘istri pendamping suami; pengelola rumahtangga, penerus keturunan, pendidik anak’ dan didukung meluas oleh perempuan dan laki-laki, maka sejak era reformasi perempuan mempunyai pilihan yang lebih terbuka. Cukup banyak perempuan yang menikmati pilihan yang sekarang tersedia baginya, yang sekaligus mengubah relasi gender (sebagai suami-isteri, sebagai bos-sekretaris) maupun dalam kehidupan bermasyarakat pada umumnya. Banyak pula laki-laki yang dapat menerima perubahan yang telah mempengaruhi relasi gender di dalam rumah maupun di lingkungan kerja. Di pihak lain, fenomena masih terjadinya diskriminasi dan kekerasan berbasis gender merupakan perwujudan bahwa masih banyak juga laki-laki yang tetap menempatkan perempuan sebagai bukan sesama manusia yang perlu dihormati, tetapi sebagai objek yang dapat dilecehkan, dipukul dan boleh dipinggirkan. Suatu contoh bahwa meskipun relasi gender bisa berubah antar waktu, tidak sekaligus berarti isu gender lama seperti diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan yang usianya sama dengan peradaban manusia, telah menghilang. Karena berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan bertumpu pada masih berlangsungnya ketimpangan antar gender.

Suatu pengalaman pribadi tentang perubahan yang terkait isu gender adalah ketika dalam tahun 1989 saya mendapat tugas mendirikan Program Studi Kajian Wanita, Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Saat itu, istilah ”perempuan”, “gender” dan “feminisme” dalam era Orde Barumerupakan kata-kata yang tabu di lingkungan akademik. Di luar tembok akademik, kata-kata itu malahan belum dikenal. Suatu kondisi yang menyebabkan nama program studi harus “Kajian Wanita”,sesuai ketentuan formal yang berlaku. Dalammengintroduksi metodologi feminis yang merupakan salah satu metode penelitian yang harus dikuasai oleh para mahasiswa Kajian Wanita, saya masih bisa memilih “perspektif perempuan” sebagai jalan tengah memperkenalkan metodologi tersebut.Secara akademis pilihan tersebut mungkin perlu diperdebatkan. Tetapi dalam kondisi sosial politik yang berlaku saat itu, pilihan tersebut dapat lebih diterima. Apalagi karena saya diingatkan oleh seorang dosen senior saat peresmian Program Studi Kajian Wanita, untuk tidak membuat mahasiwa menjadi feminis.

Program Studi Kajian Wanita saat itu adalah program baru dan yang pertama di Indonesia, sehingga masih harus mencari bentuknya sesuai kondisi di Indonesia dan di tengah-tengah dunia akademik yang androsentrik pula. Androsentrik dalam pengertian terfokus pada kepentingan laki-laki dan memakai laki-laki sebagai ukuran tentang apa yang penting dan tidak penting untuk dibahas atau diteliti. Bertumpu pada pengetahuan saya yang ketika itu sedang sangat tertarik membaca buku-buku Psikologi Perempuan yang mulai beredar, maka Program Studi Kajian Wanita saya pahami harus dapat berkontribusi dan mengoreksi konsep serta teori yang dilahirkan oleh dunia ilmu pengetahuan yang masih androsentrik. Namun dalam menempatkan pertimbangan tersebut sebagai tantangan yang penting dan harus dihadapi secara bijaksana, maka peringatan dosen senior tersebut tidak seluruhnya saya abaikan.

Sekarang, dalam tahun 2011 ini,semuanya itu mungkin dianggap absurd. Tetapi itulah kenyataan yang harus saya hadapi. Bagi yang sekarang masih berusia muda dan sangat aktif dalam perjuangan mencapai kesetaraan gender, mungkin tidak bisa membayangkan bahwa istilah “perempuan” saja di zaman Orde Baru dilarang penggunaannya secara formal. Sekarang, 22 tahun kemudian, program studi yang sama telah berganti nama menjadi Program Studi Kajian Gender dan pengajaran teori serta metodologi feminisme dapat berlangsung tanpa halangan apapun. Malahan ia dianggap penting dan dibutuhkan sebagai lembaga akademik yang menghasilkan pakar gender. Para lulusan Kajian Wanita, tanpa mendapat halangan apapun, dalam bulan Juli 2011 dengan bangga membentuk Asosiasi Pemerhati Kajian Gender (Aspekage). Mereka ada karena kesetaraan dan keadilan gender masih perlu diperjuangkan terus menerus.

Perubahan memang terjadi, tetapi lamban. Ini karena di luar komunitas pejuang kesetaraan gender, nilai-nilai patriarki yang menempatkan perempuan tidak setara dengan laki-laki masih dianut dan mempengaruhi relasi gender pada umumnya, termasuk terhadap masih bertahannya relasi gender yang timpang. Jelas bahwa kondisi sosial ini merupakan tantangan bersama dalam upaya mencapai kesetaraan gender.

Ketidak-adilan gender tercermin dari masih berlangsungnya berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan berbasis gender. Suatu realitas yang dialami perempuan dalam situasi konflik dan damai sekalipun. Kondisi ini antara lain dicatat dalam dokumentasi Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan(Komnas Perempuan). Suatu lembaga negara yang diresmikan pemerintah pada akhir tahun 1998, sebagai hasil perjuangan Masyarakat Anti Kekerasan. Misi khusus Komnas Perempuan adalah ‘menciptakan kondisi sosial untuk menghapus kekerasan terhadap perempuan’. Dalam laporan yang merupakan hasil dokumentasi berdasarkan catatan ratusan mitra kerjanya, Komnas Perempuan antara lain telah menghasilkan data empirik bahwa sejak tahun 2001 kekerasan berbasis gender -di mana pelakunya kebanyakan laki-laki dan korbannya kebanyakan perempuan- meningkat setiap tahunnya. Juga bahwa kekerasan dalam rumahtangga -yaitu kekerasan dalam relasi intim- persentasenya cukup tinggi, dengan pelakunya adalah suami, kakek, kakak laki-laki ataupun tetangga yang dikenal baik. Korban kekerasan adalah perempuan dari berbagai usia, latar belakang pendidikan, status sosial ekonomi, etnisitas dan agama. Data empirik yang bisa dikumpulkan meruntuhkan stereotipi bahwa kekerasan berbasis gender dalam relasi intim terkait pada kemiskinan dan hanya terjadi dalam keluarga status ekonomi rendah. Dikemukakan juga, ketidakadilan gender justru dilandasi oleh hukum yang berlaku.

Masih berkaitan dengan ini, Komnas Perempuan juga mencatat bahwa dalam tahun 2010 Peraturan Darah (Perda) yang diskriminatif terhadap perempuan telah mencapai lebih dari 40. Perda yang diskriminatif terhadap perempuan ini merupakan salah satu contoh bahwa mereka yang mempunyai posisi menentukan, masih menganggap perempuan tidak setara dan dinilai perlu dilindungi dengan cara membatasi kebebasanya dalam berpenampilan maupun dalam partisipasinya di ranah publik. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa meskipun perempuan Indonesia sekarang telah dapat menikmati kebebasan dan kesempatan yang belum pernah dialami generasi sebelumnya, namun transformasi ini masih dihadapkan pada berbagai ganjalan. Baik berupa hukum maupun sikap dan perilaku mereka yang mempunyai posisi pengambil keputusan maupun dari sesama warga, perempuan dan laki-laki.

Menuju Kesetaraan Gender

Dengan mengingat bahwa tujuan akhir Pancasila sebagai filosofi bernegara adalah kesejahteraan yang adil bagi semua, maka tujuan akhir dari tercapainya kesetaraan gender adalah sama pula yakni kesejahteraan yang adil bagi semua. Oleh karena itu isu gender bukan merupakan isu perempuan tetapi isu kemanusiaan.

Fokus pada pentingnya tercapai kesetaraan gender dipilih sebagai tema tanpa melupakan fakta bahwa setelah 66 tahun merdeka, upaya menghormati nilai-nilai agama, kesejahteraan untuk semua, penghormatan pada keragaman budaya dan perbedaan antar manusia sesuai dengan Pancasila masih merupakan perjuangan bersama yang belum selesai. Perubahan dalam relasi gender yang timpang memang terjadi tetapi lamban. Ini karena di luar komunitas pejuang kesetaraan gender, nilai-nilai patriarki yang menempatkan perempuan tidak setara dengan laki-laki masih dianut dan upaya pencapaian kesetaraan gender masih mengalami berbagai kendala. Suatu kondisi sosial yang merupakan tantangan bersama.

Disahkannya CEDAW (Convention on the Elimination of All types of Discrimination against Women) pada tahun 1979 oleh Perserikatan Bangsa-bangsa adalah sebagai hasil perjuangan perempuan di tingkat global karena saat itu mereka mempersepsikan bahwa di dalam kelompok negara yang telah menandatangani Deklarasi Hak Asasi Manusia (DUHAM, 1948) terjadi pelanggaran hak asasi perempuan sebagai hak asasi manusia, khususnya dalam bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Bahwa realitanya hingga sekarang diskriminasi terhadap perempuan masih marak terjadi adalah contoh bahwa meratifikasi suatu konvensi internasional seperti CEDAW tidak secara otomatis menyebabkan perubahan sikap dan perilaku anggota masyarakat pada umumnya. Implementasi suatu undang-undang baru pada dasarnya memerlukan program sosialisasi yang secara terarah dapat mengubah sikap dan perilaku anggota masyarakat sebagaimana dimaksudkan dalam undang-undang tersebut. Absennya program sosialisasi oleh Pemerintah setelah 10 tahun mengesahkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 adalah contohnya.

Dalam rangka sepuluh tahun ratifikasi CEDAW, Program Studi Kajian Wanita UI dalam tahun 1991 melakukan pembahasan tentang Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 dimana beberapa pejuang perempuan generasi pertama masih ikut hadir dan secara aktif memberi masukan mereka. Dalam pertemuan tersebut disepakati bersama untuk membuat program sosialisasi CEDAW. Kelompok kerja Convention Watch yang kemudian dibentuk dan terdiri dari perempuan akademisi, aktivis, ahli hukum, praktisi hukum ini, mengadakan survei terbatas tentang implementasi Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 sebagai program pertamanya. Hasilnya, mereka yang dianggap seharusnya mengetahui produk hukum ini, seperti para penegak hukum, dosen Fakultas Hukum, anggota DPR dan beberapa tokoh masyarakat, ternyata hampir tidak ada yang memahami CEDAW dan tujuannya. Kemudian juga diadakan penelitian mengenai penerapan Pasal 11 UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang hak pekerja perempuan, karena saat itu perempuan sebagai tenaga kerja formal meningkat secara signifikan. Hasil penelitan terbatas tersebut kemudian dijadikan pertimbangan oleh kelompok kerja Convention Watch untuk melakukan sosialiasi isi dan tujuan undang-undang tersebut.

Program sosialisasi dimulai dengan mengajak pimpinan Fakultas Hukum negeri dan swasta untuk mau mendukung tersedianya mata kuliah “Gender dan Hukum”. Di Fakultas Hukum Universitas Indonesia saat ini bernama “Wanita dan Hukum”. Dengan ijin Dekan Fakultas Hukum yang dipilih, anggota kelompok kerja Convention Watch diperbolehkan memperkenalkan dan membahas bersama dengan dosen-dosen Fakultas Hukum itu, isi dan tujuan CEDAW sebagai instrumen hukum yang khusus dirancang untuk memenuhi hak perempuan. Program kelompok kerja Convention Watch dibuat selain untuk membangkitkan sensitivitas gender, juga untuk merangsang minat para dosen Fakultas Hukum agar mau menyusun mata kuliah “Gender dan Hukum” sebagai mata kuliah mandiri atau terintegrasi dalam mata kuliah yang menjadi tanggungjawabnya. Untuk mendukung kegiatan tersebut kelompok kerja Convention Watch juga menerjemahkan berbagai bahan CEDAW, karena saat itu yang tersedia hanya bahan dalam Bahasa Inggris. Bahan yang diterbitkan dalam buku ajar tersebut, menjadi pegangan untuk para dosen dan mahasiswa Fakultas Hukum yang mengajar “Gender dan Hukum”.

Mengapa yang diajak pertama kali adalah para dosen Fakultas Hukum? Karena mereka sebagai dosen yang mempunyai tanggungjawab mendidik para calon penegak hukum. Harapannya, sejak masih menjadi mahasiswa para calon penegak hukum sudah sensitif gender dan mengenal isi UU Nomor 7 Tahun 1984. Sesuatu perjuangan Convention Watch yang telah membuahkan hasil cukup menggembirakan dengan tersedianya mata kuliah “Gender dan Hukum” di sekitar 145 Fakultas Hukum negeri dan swasta. Juga kemudian atas inisiatif mereka, terbentuknya Asosiasi Pengajar dan Pemerhati Gender dan Hukum Indonesia (APPGHI). Sayangnya, dunia ilmu pengetahuan yang pada dasarnya masih sangat androsentris (fokus pada kepentingan laki-laki, baik dalam pemahaman konsep maupun pilihan topik penelitian), maka keberlanjutan (sustainability) mata kuliah “Gender dan Hukum” sekarang menghadapi tantangan. Terutama karena tidak setiap pimpinan yang baru dari Fakultas Hukum ini, melihat relevansinya membuat para calon penegak hukum sensitif gender atau agar pikiran dan hatinya sebagai calon penegak hukum terbuka terhadap berbagai isu gender. Ini semua terjadi meskipun para penegak hukumlah yang diandalkan dapat memberi keadilan, termasuk keadilan gender.

Contoh lain tentang sulitnya membuat lebih banyak anggota masyarakat sensitif gender adalah upaya sosialisasi kebijakan pemerintah tentang pengarusutamaan gender (PUG) yang ditetapkan dalam tahun 1999. Kebijakan ini bertujuan sangat baik, yaitu tercapainya kesetaraan gender melalui jalur struktural yang formal. Namun ternyata ditandatanganinya kebijakan PUG oleh Menteri Pendidikan sebagai pejabat tertinggi bidang pendidikan, belum menjamin terjadinya komitmen dari para pendidik pada umumnya. Berdasarkan hasil penelitian tentang implementasi PUG di lingkungan pendidikan yang secara khusus mengkaji bagaimana dimensi gender diinformasikan melalui buku-buku wajib untuk murid sekolah dasar dan menengah, ditemukan bahwa bahan ajar masih memuat stereotipi gender yang kurang mendukung tercapainya kesetaraan gender. Teks yang harus dibaca dan dipelajari para murid tingkat SD dan SMP masih memuat gambar dan tulisan yang justru memperkuat stereotipi tentang peran gender perempuan dan laki-laki.

Umpamanya: buku pelajaran olahraga yang memasang Susi Susanti, perempuan juara bulutangkis penyumbang medali emas pertama Indonesia di arena Olimpiade, di halaman cover bab tentang olahraga bulutangkis. Tetapi dalam ilustrasi dengan gambar tentang bagaimana belajar bermain bulutangkis, semuanya adalah laki-laki. Begitu pula dalam buku pelajaran sejarah. Yang diperkenalkan hanya dua pahlawan perempuan, Kartini dan Rohana Kudus dengan uraian yang sangat terbatas sehingga kurang mencerminkan peran penting perempuan dalam sejarah dan kehidupan berbangsa. Ilustrasi dalam berbagai buku pelajaran yang masih lebih memperkuat stereotipi peran gender perempuan dan laki-laki, sekaligus menggambarkan bahwa Pengarusutamaan Gender sebagai kebijakan pemerintah meningkatkan kesetaraan gender melalui pendidikan formal, belum didukung oleh komitmen yang jelas dari para pelaksana pendidikan.

Kedua contoh itu saya pilih untuk mencerminkan bahwa mengubah sikap dan perilaku orang bukan hal yang sederhana. Nilai-nilai patriarki yang masih dianut secara luas dan mendasari sikap dan nilai kebanyakan warga, merupakan kendala dalam menyadarkan lebih banyak warga tentang pentingnya membangun kesetaraan gender dalam kehidupan bersama yang membutuhkan upaya yang konsisten, intensif, berkelanjutan dan meluas. Sedangkan karena kita masyarakat yang patriarkal, maka peran keteladanan dan keterlibatan mereka yang diposisikan sebagai tokoh atau pemimpin adalah penting. Sesuatu yang kini menjadi barang langka pula.

Bila saya kembali pada upaya kelompok kerja Convention Watch untuk membuat sejumlah dosen Fakultas Hukum sensitif gender dan memahami keadilan gender, maka konsistensi untuk memantapkan perubahan yang dituju tidak terjadi. Menurut saya karena dua alasan. Kelompok Kerja Convention Watch gagal menemukan generasi baru yang mau meneruskan upaya perubahan di dalam lingkungan Fakultas Hukum. Kedua, pimpinan baru tidak dilobi agar memahami mengapa calon penegak hukum perlu disadarkan tentang berbagai masalah hukum yang terkait pada ketidakadilan gender. Suatu kerja yang memang memerlukan energi dan waktu yang tidak sedikit, serta contoh tentang pentingnya kaderisasi untuk memungkinkan keberlanjutannya suatu perjuangan. Seperti mencapai ksetaraan gender.

Dari perpektif gender, perempuan di berbagai pelosok dunia jelas masih mengalami beragam ketidakadilan gender karena ia berjenis kelamin perempuan. Kenyataan inilah yang telah mendorong perempuan di mana pun, untuk bergerak aktif menyusun program kegiatan yang disesuaikan dengan kondisi perempuan setempat. Sehingga pengalaman subjektif perempuan sebagai data empirik yang kualitatif, makin banyak jumlahnya, meskipun belum selalu dianggap “valid” dari kacamata para peneliti kuantitatif. Namun dari perspektif gender, terhimpunnya data empirik tentang pengalaman perempuan sebagaimana secara subjektif dikemukakan oleh perempuan sendiri, justru dapat memperkaya pengetahuan kita tentang berbagai pengalaman perempuan, sebagaimana dihayati pelakunya.

Pemenuhan hak pendidikan anak perempuan dan kesehatan reproduksi perempuan adalah perjuangan gerakan perempuan sejak generasi pertama. Meskipun sekarang data kuantitatif mengungkap bahwa anak perempuan dan anak laki-laki yang terdaftar sebagai murid sekolah dasar tidak memperlihatkan perbedaan signifikan, dan di tingkat sekolah menengah menuju ke arah yang sama, namun secara empirik yang didasarkan pada data kualitatif masih ada realitas lain. Kemiskinan keluarga, tradisi kawin muda bagi perempuan dan menggejalanya trafiking anak, khususnya anak perempuan, menyebabkan lebih banyak anak perempuan daripada anak laki-laki keluarga miskin yang belum bisa menikmati adanya kebijakan “Wajib Belajar 9 tahun”. Sedangkan Angka Kematian Ibu (AKI) yang tinggi, dan masih tertinggi di Asia, tetap menghantui ibu-ibu miskin khususnya. Ironisnya ini semuanya terjadi di tengah kemajuan teknologi kedokteran modern. Bahwa angka kematian ibu tinggi disebabkan faktor medis dan non-medis, sudah banyak dicatat dan diutarakan berkali-kalioleh para pejuang perempuan yang fokus perjuangannya pada peningkatan hak kesehatan reproduksi perempuan.

Data kualitatif menunjukan realitas bahwa konflik yang terjadi di berbagai daerah, seperti kerusakan lingkungan, dan akibat bencana alam, berpengaruh khusus pada perempuan. Ini sesuatu yang belum selalu diperhatikan oleh para pengambil keputusan. Contoh kecilnya: dalam kondisi yang serba sulit, perempuan tetap hamil dan melahirkan. Perempuan juga tetap diposisikan sebagai pengasuh dan pihak yang harus dapat memenuhi kebutuhan fisik serta emosional keluarganya. Dari menemukan sumber air bersih untuk memasak dan minum anggota keluarganya, sampai dengan mengelola rumahtangganya di tengah–tengah pengungsian yang serba kurang fasilitas yang dibutuhkan dalam keluarga. Sesuatu yang pada umumnya tidak dibebankan pada laki-laki. Dari berbagai data kualitatif yang ada, tidak lagi menjadi rahasia bahwa perempuan dalam konflik sosial atau politik menjadi populasi yang paling rentan terhadap berbagai bentuk diskriminasi, pelecehan sampai dengan kekerasan berbasis gender. Sejak konflik berlangsung, maupun setelah konflik usai.

Hampir setiap kelompok perempuan yang peduli terhadap penghapusan ketidakadilan gender memiliki data khusus sesuai dengan misi dan program kerjanya. Kini juga tersedia data yang menganalisis berbagai isu sosial budaya dari perspektif gender dan dituangkan dalam bentuk tesis magister (S2) dan doktoral (S3) di berbagai universitas negeri maupun swasta di seluruh Indonesia. Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta juga baru saja menerbitkan buku berjudul “Psikologi Perempuan: Pendekatan Kontekstual Indonesia”. Semuanya penting untuk dijadikan bahan dalam menyusun strategi dan kampanye bersama sebagai upaya mencapai kesetaraan gender, khususnya agar lebih banyak warga mau peduli pada penghapusan ketidaksetaraan gender yang berujung pada diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan.

Perempuan dalam Membangun Bangsa

Dengan menyadari sepenunya bahwa Pancasila adalah dasar falsafah negara, di mana nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila saling terkait dan tujuan akhir Pancasila adalah kesejahteraan bagi semua, maka fokus bahasan pada Sila ke-2 “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, bukan bertujuan bahwa sila tersebut perlu diubah. Sila ke-2 dipilih sebagai ilustrasi bahwa “Kemanusiaan yang adil dan beradab” dari perspektif gender yang masih harus diperjuangkan adalah ”Kemanusiaan yang adil gender dan beradab”. Masih banyaknya perempuan yang karena kemiskinannya serta masih berlakunya nilai budaya yang melanggar berbagai haknya sebagai perempuan, menyebabkan warga yang berjenis kelamin perempuan telah dan masih mengalami berbagai ketidakadilan gender. Sesuatu yang masih perlu dan sedang diperjuangkan oleh berbagai kelompok perempuan.

Bila kita menengok sejarah bangsa, maka tidak bisa disangkal bahwa perempuan Indonesia tidak pernah absen dalam proses pembangunan bangsa. Meskipun kontribusi mereka dalam pembangunan bangsa jarang dikutip dalam tulisan formal mengenai sejarah bangsa. Tulisan tentang partisipasi aktif mereka, baik sebelum dan setelah kemerdekaan, lebih dilakukan oleh sesama perempuan dalam dan luar negeri. Bentuknya tesis penelitian maupun artikel dalam buku yang secara khusus mengurai tentang perjuangan perempuan di berbagai negara Asia, termasuk Indonesia.

Sedang kalaupun Kartini sebagai Pahlawan Nasional dipasang fotonya, seperti dalam buku pelajaran sejarah tingkat sekolah menengah, yang tidak dibahas adalah kontribusi intelektualnya dalam menganalisa hidup sebagai bangsa yang dijajah bangsa lain dan aspirasinya untuk bisa aktif berpartisipasi dalam memajukan bangsanya yang masih mengalami berbagai ketidakadilan. Meskipun Kartini telah diangkat sebagai Pahlawan Nasional dan oleh teman-temannya di luar negeri disebut sebagai feminis Indonesia. Sehingga patut disayangkan bahwa dalam sejarah Indonesia pemikirannya tidak dijadikan bahan pelajaran tentang peran perempuan dalam sejarah pembangunan bangsa. Atau tentang mengapa Kartini digolongkan sebagai feminis. Kalau Kartini yang hidup diakhir abad ke-19 dapat dikenal pikiran dan kepeduliannya terhadap kehidupan bangsanya karena tulisan yang ia tinggalkan, maka perjuangan perempuan Indonesia yang bersama laki-laki memperjuangkan kemerdekaan justru kurang direkam dalam penulisan formal tentang sejarah bangsa setelah kemerdekaan. Ini adalah sikap bias gender dalam penulisan sejarah bangsa.

Dalam usia saya yang ke-84 kini, saya sempat secara pribadi mengenal beberapa pejuang perempuan generasi pertama. Saya menganggap mereka sebagai ”feminis Indonesia pertama” dengan alasan bahwa esensi perjuangan feminis adalah: memperjuangkan terjadinya perubahan terhadap kehidupan bersama yang dianggap merugikan kemanusiaan. Sebagai perempuan, para perempuan generasi pertama secara konsisten berjuang mengubah nilai, sikap dan perilaku sesama warga yang masih mendiskriminasi perempuan dan dinilai telah menyebabkan peminggiran potensi perempuan sebagai sesama anak bangsa.

Mereka adalah feminis Indonesia generasi pertama, karena salah satu hasil perjuangan mereka yang perlu dicatat adalah bahwa setelah kemerdekaan, mereka sebagai kolektivitas tidak berhenti memperjuangkan apa yang sejak Kongres Perempuan Pertama dalam tahun 1928 menjadi fokus perjuangannya, ialah ”menghapus poligami, memenuhi hak reproduksi perempuan dan memenuhi hak pendidikan anak perempuan”. Tiga isu yang mencerminkan bahwa dua hak dasar perempuan, hak pendidikan dan hak kesehatan reproduksi perempuan, telah dilanggar. Suatu kondisi hidup bersama yang mencerminkan bahwa ketidakadilan gender sudah berlangsung lama dan bertumpu pada nilai budaya yang belum menempatkan hak perempuan sebagai hak asasi manusia. Dalam komitmennya menegakkan hak perempuan, pejuang perempuan generasi pertama setelah Indonesia merdeka, mendirikan Komisi Nasional Kedudukan Wanita Indonesia (KNKWI). Isu pertamayang mereka tangani adalah meningkatkan status perempuan dalam kehidupan bersama. Suatu perjuangan yang dalam persepsi saya secara langsung dan tidak langsung menyambung pada tiga permasalahan yang dipilih Kongres Perempuan Pertama.

Para pejuang perempuan generasi pertama ini terutama terdiri dari perempuan terdidik dari kelas sosial menengah. Perjuangan mereka meluas ketika mereka berinteraksi secara aktif dengan gerakan perempuan internasional dalam upaya menghapus diskriminasi terhadap perempuan. Adalah mereka yang sebagai KNKWI ikut aktif mengadvokasi disahkannya CEDAW (Convention on the Elimination of All Types of Discrimination against Women) pada tahun 1979 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Perempuan pejuang generasi pertama mengajak perempuan generasi yang lebih muda dan berasal dari berbagai status sosial, agama dan etnisitas untuk bersama memperjuangkan agar Pemerintah Indonesia segera dapat meratifikasi CEDAW. Hasil perjuangan mereka adalah disahkannya oleh Pemerintah Indonesia Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan sebagaimana yang telah disinggung di atas tadi.

Keterlibatan saya pada berbagai kegiatan yang terkait dalam menghapus ketidakadilan gender, meskipun sangat terbatas, telah memberi saya beberapa insight. Kita mengingat bahwa sikap dan perilaku senantiasa bertumpu pada nilai-nilai budaya yang berlaku, dan sampai sekarang yang mengemuka adalah masih dianutnya secara cukup meluas nilai-nilai patriarkhi yang cenderung menempatkan perempuan sebagai warga kelas dua, maka salah satu strategi yang perlu secara lebih serius dipikirkan adalah bagaimana melibatkan lebih banyak laki-laki dalam perjuangan mencapai kesetaraan gender. Khususnya mereka yang mempunyai posisi pengambil keputusan. Apakah ia orangtua, guru, dosen, tokoh agama atau tokoh masyarakat pada umumnya.

Sedangkan yang masih perlu disadari bersama adalah bahwa mengubah nilai yang mendasari sikap dan perilaku tidak adil gender, kurang efektif dan efisien kalau tidak dilakukan bersama oleh laki-laki dan perempuan dalam berbagai peran sosialnya. Ini sama sekali bukan pemikiran baru, tetapi kenyataannya sampai sekarang belum bisa terwujud. Sekarang diakui sudah ada beberapa laki-laki digolongkan sensitif gender, baik di lingkungan akademik maupun dalam masyarakat pada umumnya. Namun jumlah, keterlibatan dan kepedulian mereka untuk ikut memperjuangan secara kontinu dalam aktivitas tercapainya kesetaraan gender, masih terbatas. Ini kenyataan dan karenanya masih harus ditemukan cara agar lebih banyak laki-laki dapat dan mau bersama perempuan memperjuangkan tercapainya keadilan dan kesetaraan gender. Sesuatu pekerjaan rumah bagi semua laki-laki dan perempuan yang serius dan peduli pada membangun kemanusiaan yang adil gender dan beradab.

Hal lain yang masih perlu mendapat perhatian juga adalah harus terus diperjuangkannya kebijakan affirmative action, yaitu meningkatkan jumlah perempuan di posisi pengambil keputusan. Tidak hanya meningkatkan jumlah perempuan di DPR, tetapi dalam berbagai ranah kehidupan publik. Sedangkan mengingat bahwa masih banyak perempuan yang belum sensitif gender dalam sikap dan perilakunya, maka affirmative action harus didukung oleh program meningkatkan sensitivitas gender baik bagi laki-laki maupun perempuan. Sehingga yang justru perlu terus dipikirkan bersama adalah bagaimana agar mereka yang mempunyai kedudukan strategis dapat dijadikan teladan untuk menghapus ketidakadilan gender dalam kehidupan bersama. Ini semuanya penting, mengingat sebagai masyarakat yang patriarkhis kita masih rindu akan keteladanan mereka yang memposisikan diri sebagai pemimpin di berbagai ranah kehidupan bersama. Baik dalam posisi kepemimpinan formal maupun informal.

Saya juga amati bahwa melakukan sesuatu secara bersama (kolektif) dan konsisten dapat lebih cepat membuahkan hasil untuk apa yang diperjuangkan. Artinya: perjuangan mengubah nilai yang dapat mendukung kesetaraan gender dalam kehidupan bermasyarakat secara bersama (kolektif), adalah strategi penting. Contoh keberhasilannya adalah saat berbagai kelompok perempuan secara bersama memperjuangkan ditetapkannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumahtangga. Suatu undang-undang yang secara khusus memberi perlindungan legal pada perempuan di lingkup rumahnya sendiri. Jelas sesuatu yang sulit diterima dalam masyarakat yang bertumpu pada nilai patriarkis. Bahwa hasil positif dapat dicapai dalam waktu relatif singkat telah dimungkinkan karena kekompakkan berbagai kelompok perempuan dengan berbagai latar belakang kepentingan, pengalaman, etnisitas dan agama dalam memperjuangkannya. Juga diperkuat dengan dukungan nyata dari Menteri Urusan Peranan Wanita saat itu dan sejumlah perempuan dan laki-laki anggota DPR yang dalam kedudukan mereka sebagai pimpinan ikut aktif mendukung aspirasi dan perjuangan perempuan. Suatu contoh tentang bagaimana pentingnya mengajak mereka yang berada dalam kedudukan pengambil keputusan ikut dalam perjuangan ini.

Dengan tersedianya data empirik kualitatif maupun kuantitatif yang mengangkat berbagai bentuk ketidakadilan gender di cukup banyak ranah kehidupan bersama dan di berbagai pelosok negara, menurut saya, perlu segera dimanfaatkan bersama dalam menyusun strategi mencapai kesetaraan gender.

Hadirin yang saya hormati,

Bahasan dan renungan saya dalam konteks membangun kemanusiaan yang adil gender dan beradab ini dibuat atas dasar pengamatan, keterlibatan dan pengalaman saya dalam upaya mencapai kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan bersama. Terutama yang dilakukan oleh perempuan. Dengan berbagi pengalaman, saya berharap semoga lebih banyak laki-laki dan perempuan menerima bahwa relasi gender yang masih timpang –baik di ruang publik dan di ruang privat (domestik)- perlu segera dihapus. Juga bahwa menghapus ketidakadilan gender yang masih menggejala, memerlukan perubahan sikap bersama. Dari tidak peduli menjadi peduli, terhadap pentingnya mencapai kesetaraan gender dalam kehidupan bersama. Data empirik kuantitatif, meskipun belum selalu terpilah gender, beserta data kualitatif, sekarang sudah tersedia, sama-sama perlu dimanfaatkan. Utamanya sebagai strategi memperjuangkan kesetaraan gender. Ini karena membangun kemanusiaan yang adil gender dan beradab yang terkait pada menghapus relasi gender yang timpang, bukanlah suatu isu gender, melainkan isu kemanusiaan. Karenanya keterlibatan dan kepedulian perempuan dan laki-laki dalam berbagai peran sosialnya bukan lagi pilihan, tetapi keharusan dalam berstrategi mencapai kesetaraan gender atau kehidupan yang berperikemanusiaan.

Terimakasih atas perhatian saudara sekalian dan kepada Bapak Eddie dan Ibu Melly Lembong, serta Yayasan Nabil yang memberi ruang kepada saya untuk membahas pembangunan bangsa dari perspektif gender.

Jakarta, Oktober 2011

Saparinah Sadli

1Acceptance speech pada malam penganugerahan Nabil Award 2011 di Hotel Mulia, Senayan Jakarta, tanggal 12 Oktober 2011. Disunting oleh Imelda Bachtiar dengan bantuan Didi Kwartanada.